Materi Kelas VIII: KONSTITUSI
Konstitusi berasal dari bahasa Prancis “Constituere” yang artinya membentuk. Pemakaian istilah konstitusi dimaksud sebagai pembentukan atau penyusunan suatu negara.
Konstitusi bagi suatu negara merupakan keseluruhan sistem
aturan yang menetapkan dan mengatur tata kehidupan kenegaraan melalui
sistem pemerintahan negara dan tata hubungan secara timbal balik antara
pemerintah negara dan orang seorang yang berada di bawah pemerintahnya.
Konstitusi diartikan juga sebagai hukum dasar, hukum dasar tersebut dapat tertulis dan dapat juga tidak tertulis. Konstitusi atau hukum dasar yang tertulis disebut juga Undang-Undang Dasar, sedangkan konstitusi atau hukum dasar yang tidak tertulis disebut juga konvensi, yakni aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek-praktek penyelengaraan negara meskipun tidak tertulis. Dengan demikian, konstitusi lebih luas dibandingkan dengan Undang-Undang Dasar (UUD), atau UUD merupakan salah satu bagian dari konstitusi.
Konstitusi diartikan juga sebagai hukum dasar, hukum dasar tersebut dapat tertulis dan dapat juga tidak tertulis. Konstitusi atau hukum dasar yang tertulis disebut juga Undang-Undang Dasar, sedangkan konstitusi atau hukum dasar yang tidak tertulis disebut juga konvensi, yakni aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek-praktek penyelengaraan negara meskipun tidak tertulis. Dengan demikian, konstitusi lebih luas dibandingkan dengan Undang-Undang Dasar (UUD), atau UUD merupakan salah satu bagian dari konstitusi.
Menurut James Bryce, suatu konstitusi menetapkan:
- pengaturan mengenai pendirian lembaga-lembaga yang permanan
- fungsi dari lembaga-lembaga tersebut
- hak-hak tertentu yang ditetapkan.
Sedangkan menurut JF. Strong, konstitusi mengatur:
- kekuasaan pemerintah
- hak-hak dari yang diperintah
- hubungan antara pemerintah dengan yang diperintah.
B. Fungsi Konstitusi
Fungsi konstitusi, dapat ditinjau dari sudut penyelenggaraan pemerintahan atau berdasarkan tujuannya. Ditinjau dari sudut pemerintahan fungsi konstitusi
sebagai landasan struktural penyelenggaraan pemerintahan menurut suatu
sistem ketatanegaraan yang pokok-pokoknya (ketentuan inti) diatur dalam
suatu aturan-aturan konstitusi atau UUD-nya.
Sedangkan ditinjau dari sudut tujuannya, fungsi kontitusi adalah untuk menjamin hak-hak anggota warga negara atau masyarakat dari tindakan sewenang-wenang penguasa.
C. Isi atau MuataN Konstitusi
Menurut A.A.H. Struycken, UUD sebagai suatu konstitusi yang tertulis merupakan dokumen formal yang memuat:
- Hasil perjuangan politik bangsa di waktu lampau
- Tingkatan-tingkatan perkembangan tertinggi ketatanegaraan bangsa
- Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik waktu sekarang maupun yang akan datang.
- Sutau keinginan dengan mana perkembangan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.
Menurut Sri Sumantri (1979:45) konstitusi pada umumnya memuat:
- adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negara
- ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental;
- adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.
Menurut Miriam Budiardjo (1977:101), setiap UUD/Konstitusi memuat ketentuan tentang:
- organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif dan judikatif, dan sebagainya
- hak-hak asasi manusia
- prosedur mengubah UUD
- Ada kalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari UUD.
D. Konstitusi yang Pernah Berlaku di Indonesia
Semenjak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai sekarang, di Indonesia telah berlaku tiga macam konstitusi atau UUD dalam empat periode:
1) Periode 18 Agustus 1945 sampai dengan 27 Desember 1949 berlaku UUD Proklamasi yang kemudian dikenal dengan UUD 1945
2) Periode 27 Desember 1949 sampai dengan 17 Agustus 1950 berlaku Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat (UUD RIS)
3) Periode 17 Agustus 1950 sampai dengan 5 Juli 1959 berlaku Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS 1950)
4) Periode 5 Juli 1959 sampai dengan sekarang berlaku UUD 1945
1. Periode 18 Agustus 1945 s/d 27 Desember 1949
Undang-Undang
Dasar 1945 sebagai salah satu bagian dari hukum dasar memuat
aturan-aturan pokok ketatanegaraan yang dijadikan dasar bagi
aturan-aturan ketatanegaraan lainnya. Beberapa aturan pokok itu mengatur
bentuk negara, bentuk pemerintahan, pembagian kekuasaan, dan sistem
pemerintahan.
Ada
dua macam bentuk negara, yakni kesatuan dan serikat (federasi). Menurut
Undang-Undang Dasar 1945 bentuk negara Indonesia ialah kesatuan.
Ketentuan ini dapat kita temukan dalam Pasal 1 Ayat 1 yang menyatakan
bahwa, "Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk republik".
Sebagai
sebuah negara kesatuan, kedaulatan negara Indonesia tidak dibagi -bagi
sehingga tidak ada negara dalam negara. Kekuasaan negara dikendalikan
oleh pemerintah pusat. Meskipun demikian, pemerintah pusat memiliki
wewenang untuk menyerahkan sebagian urusannya kepada pemerintah daerah.
Sistem inilah yang lazim disebut desentralisasi.
Sebagai
negara kesatuan, Indonesia mengembangkan sistem desentralisasi.
Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 18 yang menyatakan bahwa, "Pembagian
daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan
mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan
hak-hak asal-usul dalam daerah::daerah yang bersifat istimewa".
Adapun
sifat dan kedudukan daerah-daerah di wilayah negara Indonesia
dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 18. Dalam bagian ini ditegaskan bahwa
oleh karena negara Indonesia merupakan negara kesatuan, Indonesia tidak
akan mempunyai daerah, di dalam lingkungannya yang bersifat stoat (negara).
Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi dan daerah provinsi
akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Pembagian atas
daerah-daerah otonom atau administratif dilakukan dengan undang-undang.
Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan
permusyawaratan rakyat. karena di daerah pun pemerintahan akan
bersendikan permusyawaratan.
Berkenaan
dengan bentuk pemerintahan, Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan bahwa
pemerintahan negara Indonesia berbentuk republik. Hal ini dapat diamati
dari bunyi ketentuan Pasal 1 Ayat 1. Salah satu bukti bahwa negara
Indonesia memiliki pemerintahan yang berbentuk republik. dapat dilihat
dari cara pengisian jabatan kepala negaranya yang dilakukan melalui
pemilihan dan pengangkatannya oIeh MPR. Cara seperti irii berbeda dengan
cara-cara yang dipraktikkan dalaIn negara-negara kerajaan (monarki)
yang umumnya menggunakan pewarisan atau keturunan.
Adapun menyangkut pembagian kekuasaan Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan beberapa. hal sebagai berikut:
(1)
Kekuasaan eksekutif dijalankan oleh presiden dibantu oleh seorang wakil
presiden dan para menteri. Dalam menjalankan tuigasnya. Presiden diawasi
Dewan Perwakilan Rakyat. Meskipun demikian Presiden tidak bertanggung
jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
(2)
Kekuasaan legislatif dijalankan oleh Presiden bersama-sama dengan Dewan
Perwakilan Rakyat. Kerja sama antara Presiden dan DPR tampak dalam hal
pembuatan undang-undang.
(3) Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung.
Kedudukan
badan ini merdeka dari campur tangan kekuasaan pemerintah. namun tidak
berdiri di atas pemerintah. Selain menjalankan kekuasaan kehakiman.
Mahkamah Agung berwenang untuk memberikan nasihat hukum kepada Presiden
selaku kepala negara dalam hal pemberian dan penolakan grasi.
Sistem
pemerintahan yang dianut Undang-Undang Dasar 1945 ialah kabinet
presidensial. Menurut sistem ini, presiden ialah penyelenggara
pemerintahan negara yang tertinggi di bawah Majelis Permusyawaratan
Rakyat. Dalam melakukan tugasnya. presiden dibantu oleh para menteri
negara yang diangkat diberhentikan. dan bertanggung jawab kepada
presiden.
Namun,
dalam penyelenggaraan ketatanegaraan. Ketentuan-ketentuan di atas
belum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Masa-masa setelah
Proklamasi Kemerdekaan dapat diangaap sebagai masa peralihan dengan
corak pemerintahan tersendiri. Pada masa ini kekuasaan presiden sangat
luas. Menurut Pasal IV Aturan Peralihan, selain menjalankan kekuasaan
eksekutif, presiden menjalankan kekuasaan Majelis Permusyawaratan Rakyat
dan Dewan Perwakilan Rakyat. Di samping presiden, hanya ada wakil
presiden dan Komite Nasional Indonesia Pusat yang berkedudukan sebagai
pembantu presiden. Presiden dapat menjalankan kekuasaan dengan
seluas-luasnya tanpa dimbangi dan diawasi oleh lembaga negara lainnya.
Dilatarbelakangi
oleh keadaan seperti yang digambarkan di atas, keluarlah Maklumat Wakil
Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945. Maklumat ini mengandung
keputusan bahwa sebelum MPR dan DPR terbentuk, Komite Nasional Indonesia
Pusat diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-Garis
Besar Haluan Negara. Jika mengingat gentingnya keadaan, pekerjaan
sehari-hari Komite Nasional Indonesia Pusat dijalankan oleh sebuah badan
pekerja yang dipilih di antara mereka dan bertanggung jawaab kepada
Komite Nasional Indonesia Pusat.
Perkembangan
selanjutnya terjadi pada tanggal 11 November 1945. Badan Pekerja Komite
Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) mengusulkan mengenai perlunya
pertanggungjawaban menteri kepada Badan Perwakilan Rakyat. Usul ini
kemudian dijelaskan dalam pengumuman Badan Pekerja Nomor 5 Tahun 1945.
Di dalam pengumuman ini dijelaskan dua pertimbangan perlunya
pertanggungjawaban menteri kepada Badan Perwakilan Rakyat, yaitu sebagai
berikut:
(1)
Bahwa di dalam Undang-Undang Dasar tidak terdapat pasal, baik yang
mewajibkan maupun yang melarang para menteri bertanggung jawab.
(2) Pada pihak lain pertanggungjawaban kepada Badan Perwakilan Rakyat ialah suatu jalan untuk memberlakukan kedaulatan rakyat.
Persetujuan
Presiden terhadap usul Badan Pekerja diberikan dan diumumkan dengan
Maklumat Pemerintah 14 November 1945. Sejak hari itu, para menteri
menjadi anggota kabinet yang dipimpin oleh seorang perdana menteri yang
bertanggung jawab kepada Badan Perwakilan Rakyat. Sebagai akibatnya,
kabinet presidensial di bawah pimpinan Presiden Soekarno segera
meletakkan jabatan dan digantikan kabinet parlementer yang dipimpin oleh
Perdana Menteri Sutan Sjahrir.
Kenyataan
di atas merupakan penyimpangan dari ketentuan Undang-Undang Dasar 1945,
khususnya Pasal 17, Ayat 1 dan 2 yang menyatakan bahwa (1) Presiden
dibantu oleh menteri-menteri negara dan (2) menteri-menteri itu diangkat
dan diberhentikan oleh Presiden.
2. Periode 27 Desenber 1049 s/d 17 Agutsu 1950
Konstitusi
Republik Indonesia Serikat (RIS) mulai berlaku pada tangal 27 Desember
1949 bersamaan dengan penandatanganan pengakuan kedaulatan Indonesia
oleh Belanda. Konstitusi RIS dihasilkan dari sebuah pertemuan yang
dinamakan "pertemuan untuk permusyawaratan federal" pada tanggal 14
Desember 1949 bertempat di Den Haag.
Konstitusi
RIS terdiri atas 197 pasal. Konstitusi ini bersifa sementara karena
menurut ketentuan Pasal 186 Konstituante (sidang pembuat Konstitusi)
bersama-sama dengan Pemerintah akan selekas-lekasnya menetapkan
Konstitusi RIS yang akan menggantikan Konstitusi yang sementara ini.
Bentuk
negara yang dikehendaki Konstitusi RIS ialah serikat atau federal,
dengan bentuk pemerintahan republik. Ketentuan ini dapat dikaji dalam
Pasal 1 Ayat 1 yang menyatakan, ”Republik Indonesia Serikat yang merdeka
dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokrasi dan berbentuk
federasi".
Sesuai
dengan bentuk serikat, wilayah RIS dibagi ke dalam tujuh negara bagian
dan sembilan satuan kenegaraan. Ketujuh negara bagian tersebut adalah:
1. Negara Republik Indonesia.
2. Negara Indonesia Timur,
3. Negara Pasundan. termasuk Distrik Federal Jakarta.
4. Negara Jawa Timur,
5. Negara Madura.
6. Negara Sumatra Timur. dan
7. Negara Sumatra Selatan.
Adapun yang termasuk satuan kenegaraan ialah sebagai berikut:
1) Jawa Tengah
2) Bangka,
3) Belitung.
4) Riau,
5) Kalimantan Barat (Daerah Istimewa),
6) Dayak Besar.
7) Daerah Banjar,
8) Kalimantan Tengah, dan
9) Kalimantan Timur.
Negara
dan daerah bagian ini memiliki kemerdekaan untuk menentukan nasib
sendiri yang bersatu dalam ikatan federasi RIS. Selain negara bagian dan
satuan kenegaraan tadi, RIS mencakup pula daerah-daerah Indonesia
selebihnya yang bukan daerah-daerah bagian.
Menurut ketentuan dalam Bab Ill, alat-alat perlengkapan federal RIS adalah:
(1)Presiden,
(2)Menteri-menteri.
(3)Senat.
(4) Dewan Perwakilan Rakyat,
(5) Mahkamah Agung dan
(6) Dewan Pengawas Keuangan
Dari ketentuan pasal-pasalnya dapat disirnpulkan bahwa Konstitusi
RIS menganut sistem pemerintahan parlernenter. Dalam sistem
pemerintahan menurut konstitusi ini, presiden dan menteri-menteri
merupakan Pemerintah. Lembaga perwakilannya menganut sistem dua karnar,
yaitu Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat. Senat merupakan perwakilan
negara atau daerah bagian yang setiap negara atau daerah bagian diwakili
dua orang. DPR yang beranggotakan 150 orang merupakan wakil seluruh
rakyat.
Pernerintah
melakukan kekuasaan legislatif bersama-sarna dengan DPR dan Senat. Hal
ini dilakukan sepanjang materi undang-undang itu menyangkut satu atau
sernua negara atau daerah bagian; atau mengenai hubungan RIS dengan
negara atau daerah bagian. Adapun pembuatan undang-undang yang
menyangkut seluruh kekuasaan di luar masalah tadi dilakukan oleh
presiden bersama-sama DPR.
Selain
rnemiliki kekuasaan legislatif yang sangat terbatas, Senat juga
memiliki fungsi sebagai penasihat pemerintah. Bahkan, nasihat Senat
wajib didengar pemerintah apabila menyangkut:
1) urusan-urusan penting negara-negara atau daerahdaerah bagian,
2) hubungan RIS dengan negara atau daerah bagian, dan
3) penyusunan Rancangan Undang-Undang Darurat.
3. Periode 17 Agutus 1950 s/d 5 Juli 1959
Hasrat
untuk membentuk negara kesatuan tidak dapat dilenyapkan dengan
berdirinya beberapa negara atau daerah bagian. Hasrat ini semakin kuat
setelah di yakini bahwa pembentukan negara-negara bagian itu dilakukan
Belanda untuk memecah persatuan dan kesatuan bangsa.
Pergerakan
rakyat yang menuntut pembubaran negara atau daerah bagian dan
penggabungan dengan Republik Indonesia di Yogyakarta muncul di
mana-mana. Penggabungan negara atau daerah bagian yang satu dengan yang
lainnya dimungkinkan berdasarkan ketentuan Pasal 43 dan 44 Konstitusi
RIS. Penggabungan dapat dilakukan dengan ketentuan dikehendak rakyat dan
diatur oleh undang-undang federal.
Untuk
mewujudkan kehendak rakyat, Pemerintah RIS dengan persetujuan DPR dan
Senat RIS mengeluarkan Undang-Undan Darurat No. 11 Tahun 1950 tentang
Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan RIS pada tanggal 8 Maret 1950.
Segera setelah dikeluarkannya Undang-Undang tadi, beberapa negara bagian
menggabungkan diri dengan Republik Indonesia. RIS hanya terdiri dari
tiga negara bagian, yakni Republik Indonesia, Negara Sumatra Timur, dan
Negara Indonesia Timur yang baru bergabung pada tanggal 5 April 1950.
Pada
tanggal 19 Mei 1950 melalui sebuah perundingan telah dihasilkan sebuah
"Piagam Persetujuan" antara Pemerintah RI dan Pemerintah RIS yang
mendapat kuasa dari dua negara bagian yang masih ada. Kedua pemerintahan
sepakat untuk membentuk negara kesatuan sebagai penjelmaan semangat
Proklamasi Kemerdeka 17 Agustus 1945. Negara kesatuan yang akan dibentuk
diatur deng Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar tersebut diperoleh
dengan mengubah Konstitusi RIS sehingga prinsip-prinsip pokok
Undang-Undang Dasar 1945 ditambah dengan "bagian-bagian yang baik" dari
Konstitusi RIS, termasuk di dalamnya.
Sejak
tanggal 17 Agustus 1950, berlakulah Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
Hal ini bersamaan dengan terwujudnya kembali negara kesatuan,
sebagaimana dicita-citakan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Pemberlakuan Undang-Undang Dasar ini ditetapkan dengan Undang-Undang No.
7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia
Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia.
Undang-Undang
Dasar Sementara terdiri atas 6 bab dan 146 pasal. Oleh karena bersifat
sementara, berdasarkan Pasal134 ditentukan bahwa Konstituante (sidang
pembuat Undang-Undang Dasar) bersama-sama dengan pemerintah akan
secepatnya menetap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan
menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara ini.
Adapun
bentuk negara dan pemerintahan yang dikehendaki Undang-Undang Dasar
Sementara 1950 ialah kesatuan pemerintahan republik. Hal ini dapat
dikaji dari ketentuan Pasal 1 Ayat 1 yang menyatakan bahwa: "Republik
Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang
demokratis berbentuk kesatuan".
Berbeda
dengan Konstitusi RIS, Undang-Undang Dasar Sementara 1950 tidak
mengenal Senat. Alat-alat perlengkapan negara selengkapnya dapat dikaji
pada Pasal 44 yang meliputi unsur-unsur.
1) Presiden dan Wakil Presiden,
2) Menteri-menteri,
3) Dewan Perwakilan Rakyat,
4) Mahkamah Agung, dan
5) Dewan Pengawas Keuangan.
Berdasarkan
Undang-Undang Dasar 1950. Presiden bersama-sama dengan Dewan Perwakilan
Rakyat memegang kedaulatan rakyat. Sistem pemerintahan menurut UUDS
1950 diatur dalam Pasal 83 dan 84 sebagai berikut.
Pasal 83
(1) Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat.
(2)
Menteri-menteri bertanggung jawab atas keseIuruhan kebijaksanaan
Pemerntah, baik bersama-sama untuk seIuruhnya, maupun masing-masing
unluk kegiatannya sendiri-sendiri.
Pasal 84
Presiden
berhak membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat. Keputusan Presiden yang
menyatakan pembubaran itu memerintahkan puIa untuk mengadakan pemilihan
Dewan Perwakiran Rakyat baru daIam 30 hari.
Berdasarkan
ketentuan pasal-pasal di atas, nyatalah bahwa UUDS 1950 menganut sislem
parlementer. Berdasarkan sistem ini, DPR dapat membubarkan kabinet.
Sebagai imbangannya, presiden memiliki kedudukan yang kuat dan dapat
membubarkan DPR. Mekanisme seperti ini merupakan hal biasa bagi
negara-negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer.
4. Periode 5 Juli 1959 s/d 1998
Mengapa
dikeluarkan Dekrit Presiden? Pemilu tahun 1955, antara lain,
menghasilkan terbentuknya Konstituante yang bertugas membuat
undang-undang dasar baru sebagai pengganti UUDS 1950. Dalam pelaksanaan
tugasnya, para anggota Konstituante telah berhasil menyepakati berbagai
rancangan materi UndangUndang Dasar tersebut. Akan tetapi, ketika
membahas dasar negara, para anggota Konstituante tidak berhasil mencapai
kesepakatan walaupun telah diupayakan bermusyawarah dalam waktu lama,
bahkan dilakukan pemungutan suara. Hasil pemungutan suara menunjukkan
tidak ada pihak yang mencapai 2/3 jumlah suara walaupun pemungutan telah
suara diulang.
Di
tengah situasi demikian, muncul desakan dari Presiden Soekarno dan
militer agar Indonesia kembali ke UUD 1945. Akhirnya Presiden Soekarno
mengeluarkan Dekrit tanggal 5 Juli 1959, selanjutnya disebut Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, yang isinya:
- menetapkan pembubaran Konstituante;
- menetapkan UUD 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan tidak berlakunya UUDS;
- membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang terdiri atas anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara
Dalam
konsiderans dekrit disebutkan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan
adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut.
Sejak 5
Juli 1959 hingga sekarang Undang-Undang Dasar 1945 terus berlaku. Pada
kurun waktu 1959-1998 tidak diperkenankan diubah sedikit pun, namun
setelah masa reformasi (tahun 1998) telah diadkan perubahan dalam
beberapa isi pasal UUD 1945. Perubahan pada masa reformasi ini dikenal
dengan nama Amandemen UUD 1945.
5. Periode reformasi s/d sekarang
Perubahan UUD 1945 baru terjadi pada era reformasi.
Era reformasi muncul setelah terjadinya krisis ekonomi dan moneter di
Indonesia pada 1997-1998. Di tengah situasi dan kondisi itu, muncul
gelombang unjk rasa mahasiswa dan masyarakat, baik di Jakarta maupun di
daerah-daerah. Tuntutan mahasiswa dan masyarakat, yang semula di bidang
ekonomi akhirnya berkembang ke bidang politik, yakni tuntutan
pemberhentian Presiden Soeharto. Desakan para mahasiswa serta masyarakat
yang menghendaki adanya reformasi, akhirnya menyebabkan Presiden
Soeharto berhenti dari jabatannya, yang kemudian digantikan oleh Wakil
Presiden B.J. Habibie pada 21 Mei 1998, pada Sidang Umum MPR 1998
disahkan Perubahan Pertama UUD 1945, kemudian Perubahan Kedua pada
Sidang Tahunan PR 2000. Perubahan Ketiga UUD 1945 terjadi pada Sidang
tahunan MPR 2001 dan Perubahan Keempat UUD 1945 Sidang tahunan MPR tahun
2002.
Perubahan
UUD 1945 yang dilakukan dalam empat tahap itu untuk menyesuaikan UUD
1945 dengan tuntutan perkembangan jaman dan kebutuhan bangsa agar tujuan
berdirinya negara kita dapat lebih mudah dan cepat diwujudkan.
Latihan Uji Kompetensi
Jawablah pertanyaan dibawah ini dengan jelas dan benar !
1. Sebutkan berbagai konstitusi yang pernah belaku di Indonesia1
2. Menjelaskan sistem ketatanega raan menurut Konstitusi RIS
3. Menjelaskan sistem ketatanega raan menurut UUDS 1950
E. Penyimpangan Konstitusi yang Pernah Berlaku di Indonesia
1) Penyimpangan Konstitusi Pada Periode 18 Agustus 1945 s/d 27 Desember 1949
Undang-Undang
Dasar 1945 berlaku di Indonesia dalam dua kurun waktu, yaitu yang
pertama sejak ditetapkannya oleh Panitia, Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945, yang berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 2 Tanggal 10 Oktober 1945 diberlakukan surut
mulai tanggal 17 Agustus 1945, sampai dengan mulai berlakunya Konstitusi
RIS pada saat pengakuan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949. Yang
kedua adalah dalam kurun waktu sejak diumumkannya Dekrit Presiden
tanggal 5 Juli 1959 hingga sekarang, dan ini terbagi pula atas masa Qrde
Lama ,Orde Baru, dan Orde Reformasi
Dalam
kedua kurun waktu berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 itu kita telah
mencatat pengalaman tentang gerak pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan
Undang-Undartg Dasar 1945 itu.
Dalam
kurun waktu 1945 - 1949, jelas Undang-Undang Dasar 1945 tidak dapat
dilaksanakan dengan baik; karena. kita memang sedang dalam masa
pancaroba, dalam usaha membela dan mempertahankan kemerdekaan yang baru
saja kita proklamasikan, sedangkan pihak kolonial Belanda justru ingin
menjajah kembali, bekas jajahannya yang telah merdeka. Segala perhatian
bangsa dan negara diarahkan untuk memenangkan Perang Kemerdekaan.
Sistem
pemerintahan dan kelembagaan yang ditentukan dalam UndangUndang Dasar
1945 jelas belum dapat dilaksanakan. Dalam kurun waktu ini sempat
diangkat Anggota DPA sementara, sedangkan MPR dan DPR belum dapat
dibentuk. Waktu itu masih terus diberlakukan ketentuan Aturan Peralihan
pasal IV yang menyatak:an bahwa: "Sebelum Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk
inenurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaarinya dijalankan oleh
Presiden dengan bantuan Kornite Nasional" .
Ada dua penyimpangan konstitusional yang dapat dicatat dalam kurun waktu 1945 - 1949 itu, yakni:
a) berubahnya
fungsi Kornite Nasional Pusat dari pembantu Presiden menjadi badan yang
diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan garis-garis besar
dari pada haluan negara berdasarkan Maklumat Wakil Presiden No.X tanggal
16 Oktober, 1945.
b) perubahan
sistem Kabinet Presidensial menjadi Kabinet Parlementer. Berdasarkan
usul Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) pada
tanggal 11 Nopember 1945, yang kemudian disetujui oleh Presiden dan
diumumkan dengan Maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945, sistem
Kabinet Presidensil berdasarkan UUD 1945 diganti dengan sistem Kabinet
Parlementer.
Sementara
itu, pada tan'ggal 3 Nopember 1945 atas usul BP-KNIP, Pemerintah
mengeluarkan suatu Maklumat, yang ditandatangani oleh Wakil Presiden,
tentang pembentukan partai-partai politik. Tujuan Pemerintah ialah agar
dengan adanya partai-partai itu dapat dipimpin segala aliran paham yang
ada di masyarakat ke jalan yang teratur.
Sejak
tanggal 14 Nopember 1945 kekuasaan 'pemerintahan (eksekutif) dipegang
oleh Perdana Menteri sebagai pimpinan Kabinet dengan para Menteri
sebagai anggota Kabinet. Secara bersarna-sama. atau sendiri-sendiri
Perdana Menteri dan/atau para Menteri bertanggungjawab kepada KNIP, yang
berfungsi sebagai DPR, tidak bertanggungjawab kepada Presiden seperti
yang dikehendaki Undang-Undang Dasar 1945. Dengan penyimpangan sistem
inijelas l"engaruh negatifnya terhadap stabilitas politik dan sta~ilitas
pemerintahan.
Perlu
diketahui, bahwa dalam masa revolusi fisik tahun 1945 - 1949 itu sistem
pemerintahan kita sering berubah dari sistem presidensial menjadi sistem
parlementer dan sebaliknya. Namun perlu diingat, bahwa setiap kali
negara dalam keadaan genting kita senantiasa kembali kepada sistem
presidensial.
Berkat
kebulatan tekad seluruh rakyat waktu itu untuk terus berjuang
menegakkan kemerdekaan, maka dengan naungan Undang-Undang Dasar 1945 --
meskipun telah terjadi penyimpangan -- akhimya bangsa Indonesia dapat
megmenangkan Perang Kemerdekaan.
Akhimya
Belanda mengakui Kemerdekaan Indonesia, namun kita, fihak "Republik
Proklarnasi" terpaksa menerima berdirinya Negara Indonesia yang lain
dari yang kita proklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan didirikan
berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 yang kita tetapkan pada tanggal 18
Agustus 1945.. Negara Kesatuan Republik Indonesia terpaksa menjadi
negara Federasi Republik Indonesia Serikat .(RIS), berdasarkan pada
Konstitusi RIS dengan Ir. Soekarno sebagai Presidennya. Undang-Undang
Dasar 1945 berlaku hanya di Negara Bagian RI yang meliputi sebagian
pulau Jawa dan Sumatera dengan ibukota Yogyakarta.
2) Penyimpangan Konstitusi Pada Periode 27 Desember 1949 s/d 17 Agustus 1950
Konstitusi
Republik Indonesia Serikat (RIS) merupakan Konstitusi yang kedua dari
Negara kita dan berlaku sejak 27 Desember 1949 sampai dengan 17 Agustus
1950, jadi lebih kuranghanya delapan bulan. Rancangan Konstitusi itu
disepakati bersarna di negara Belanda antara wakil-wakil pemerintah
Republik Indonesia dengan wakil-wakil pemerintah "negara" BFO
(Bijeenkomst voor Federaal Overleg), negara-negara buatan Belanda di
luar RI. Ini terjadi di kota pantai Scheveningen tanggal 29 Oktober
1949, pada saat berlangsungnya Konperensi Meja Bundar.
Pada
tanggal 14 Desember 1949 di Jakarta disetujui rancangan tersebut oleh
wakil-wakil pemerintah dan KNIP Republik Indonesia dan wakil
masing-masing pemerintah dan Dewan-dewan Perwakilan Rakyat negara-negara
BFO.
Akhirnya
dalam sidang lanjutan pada konperensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag
Negeri Belanda, Rancangan Konstitusi RIS tersebut disetujui oleh semua
pihak.
Penyimpangan
konstitusi pada masa ini antara lain dengan berubahannya bentuk negara
kesatuan menjadi negara federasi (negara serikat), yakni negara yang
memiliki negara-negara bagian. Untunglah negara federasi RIS hanya
berlangsung sangat singkat. Sejak berdirinya Republik Indonesia Serikat
terasa desakan-desakan untuk menjadikan RIS kembali menjadi Negara
Kesatuan. Desakan itu terutama datang dari, daerah-daerah yarig merasa
tidak puas dengan terbentuknya negara federal hasil KMB serta ingin
bergabung dengan Rebulkik Indonesia (Yogyakarta). Pembubaran dan
penggabungan negara-negara bagian itu memang dimungkinkan oleh
Konstitusi RIS Pasal 43 dan 44.
Sejarah
menunjukkan bahwa pada bulan April 1950 tinggal negara bagian Indonesia
Timur dan Sumatera Timur sajalah yang belum bergabung dengan negara. RI
Yogyakarta. Akhimya tercapailah kata sepakat antara negara RI
Yogyakarta dan negara RIS, yang sekaligus mewakili negara Bagian
Indonesia Timur dan Sumatera Timur untuk dalam waktu
sesingkat-singkatnya bersama-sama mendirikan satu negara .kesatuan.
Persetujuan
tersebut secara resmi dimuat dalam suatu Piagam Persetujuan tang gal 19
Mei 1950. Proses selanjutnya adalah membuat rancangan perubahan
konstitusi RIS menjadi UUDS. Republik Indonesia oleh pihak RIS dan
Negara Republik Indonesia (Yogyakarta). Pada tanggal 15 Agustus 1950 di
depan rapat. gabungan senat dan DPR-RIS, Presiden menyatakan bahwa
rancangan perubahan tersebut telah disetujui oleh pihak RIS dan negara
RI Yogyakarta dan karena itu naskah UUD (Sementara) itu telah
ditandatangani olehnya bersama Perdana Menteri dan Menteri Kehakiman RIS
serta kemudian diumumkan oleh Menteri Kehakiman dan berlaku mulai
tailggal 17 Agustus 1950.
3) Penyimpangan Konstitusi Pada Periode 17 Agutus 1950 s/d 5 Juli 1959
Pada
tanggal 17 Agustus 1950, negara federasi RIS kembali menjadi Negara
Kesatuan RI, tetapi dengan landasan Undang-Undang Dasar yang lain dari
Undang-Undang Dasar 1945. Negara Kesatuan Republik Indonesia telah
menetapkan Undang-Undang Dasar Sementara yang diberi nama Undang-Undang
Dasar Sementara Republik Indonesia (1950). Ini merupakan Konstitusi kita
yang ketiga.
Penyimpangan konstitusi pada masa ini adalah:
- perubahan sistem kabinet presidential menjadi sistem kabinet parlementer. Menurut Undang-Undang Dasar baru ini sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem pemerintahan parlementer bukan sistem kabinet presidensial. Menurut sistem pemerintahan parlementer itu Presiden dan Wakil Presiden adalah sekedar Presiden konstitusional dan "tidak dapat diganggu gugat". Yang bertanggung jawab adalah para Menteri kepada Parlemen (DPR). .
- Undang-Undang Dasar Sementara 1950, yang mengganut sistem parlementer, berpijak pada landasan pernikiran demokrasi liberal yang mengutamakan pada kebebasan individu, sedangkan Undang-Undang Dasar 1945 menganut sistem presidensial berpijak pada landasan Demokrasi Pancasila, yang berintikan' kerakyatan' yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, Presiden bertanggung jawab kepada pemberi mandat yakni MRR, tidak kepada DPR.
Pelaksanaan
dari Undang-Undang Dasar Sementara 1950 dan akibatnya jelas telah kita
saksikan bersama, berupa kekacauan, baik di bidang politik, keamanan,
maupun ekonorni. .
Sistem
Kabinet Parlemehter yang dianut UUDS 1950 menyebabkan tidak tercapainya
stabilitas politik dan pemerintahan yang disebabkan sering bergantinya
kabinet yang didasarkan kepada dukungan suara di Parlemen. Pada tahun 1950 s/d 1959
telah terjadi pergantian kabinet sebanyak tujuh kali yang dengan
sendirinya menggambarkan; bahwa program dari suatu kabinet tidak dapat
dilaksanakan secara baik dan berkesinambungan. Oleh karena itulah pada
waktu itu telah timbul pendapat-pendapat dalam masyarakat agar kita
kembali saja kepada sistem kabinet presidensial, seperti yang termuat di
dalam UUD Proklamasi.
Pada
bulan September 1955 dan Desember 1955 diadakan pernilihan umum,
rnasing-masing untuk memilih anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan
anggota Konstituante. Tugas Konstituante adalah untuk membuat suatu
Rancangan Undang-Undang Dasar sebagai pengganti UUDS .1950, yang menurut
Pasal 134 akan ditetapkan selekas-lekasnya bersama-sama dengan
pemerintah.
Untuk mengambil putusan mengenai Undang-Undang Dasar maka Pasal 137 UUDS 1950 menyatakati bahwa :
- Untuk mengambil putusan tentang Rancangan Undang-Undang Dasar baru jlka sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota konstituannte harus hadir;
- Rancangan tersebut diterirna jika disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 . dari jumlah anggota yang hadir;
- Rancangan yang telah diterima oleh Konstituapte dikirimkan kepada Presiden untuk disahkan oleh Pemerintah;
- Pemerintah harus mengesahkan rancangan itu dengari segera serta mengumumkan Undang-Undang Dasar itu dengan keseluruhan.
Lebih
dari dua tahun bersidang Konstituante belum berhasil merumuskan
Rancangan Undang-Undang Dasar baru. Perbedaan pendapat yang telah
menjadi perdebatan-perdebatan di dalam gedung Konstituante mengenai
dasar negara telah menjalar ke luar gedung Konstituante dan yang
diperkirakan pula akan menimbulkan ketegangan-ketegangan politik dan
fisik di kalangan masyarakat. Dalam suasana seperti itu Presiden dalam
pidatonya di depan sidang Konstituante tanggal 22 April 1959 menyarankan
"marilah kita kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945".
Saran
untuk kembali kepada UUD 1945 itu pada hakikatnya dapat diterima oleh
para anggota Konstituante, namun dengan pandangan yang berbeda.
Yang
pertama, menerima saran kembali kepada UUD 1945 suara utuh, dan yang
kedua menghendaki kembalinya kepada UUD 1945 dengan suatu amandemen,
yakni dimasukkannya lagi tujuh kata "dengan kewajiban rrienjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya", pada sila pertama Pancasila
dibelakang "kata Ketuhanan” seperti yang tercantum dalam Piagam Jakarta
ke dalam Pembukaan UUD 1945.
Karena
tidak memperoleh kemufakatan antara pandangan- pandangan yang berbeda
itu, maka Konstituante mengadakan pemungutan suara terhadap usul
pemerintah untuk kembali ke UUD 1945. Pertama-tama diadakan Pemungutan
suara terhadap usul amandemen, dan dilaksanakan tanggal 29 Mei 1959.
Usul amandemen itu tidak memperoleh suara dua pertiga dari anggota yang
hadir. Anggota yang hadir waktu itu sebanyak 470 orang, sedangkan yang
menyetujui usul amandemen 201 orang dan yang tidak menyetujuinya 265
orang.
Selanjutnya
dilaksanakan pemungutan suara terhadap usul Pemerintah untuk kembali ke
UUD 194S. Pemungutan suara dilakukan sebanyak tiga kali.
Tanggal
30 Mei 1959 diadakan pemungutan suara yang pertama dengan hasil 269
suara setuju dan 199 suara menolak. Karena persyaratan formal, yaitu 2/3
dari jumlah anggota yang hadir sesuai dengan ketentuan pasal 137 UUDS
1950 tidak terpenuhi, maka tanggal 1 Juni 1959 diselenggarakan
pemungutan suara yang kedua. Hasilnya adalah 264 suara setuju menerima
usul untuk kembali ke UUD 1945 dan 204 suara menolak, yapg juga tidak
memenuhi kourum. Pemungutan suara ketiga dilangsungkan tanggal 2 Juni
1945 dan secara rahasia dengan hasil 263 suara setuju dan 203 menolak,
sehingga persyaratan formal juga tidak dapat dipenuhi.
Sesuai
dengan tata tertib Konstituante yang ditentukan, bahwa pemungutan suara
untuk amandemen dilakukan satu kali, dan kepada materi baru dilakukan
sebanyak tiga kali. Dengan demikian menunjukkan bahwa usul
Pemerintahuntuk kembali kepada UUD 1945 tidak mendapat persetujuan dari
lembaga Konstituante meskipun telah disetujui oleh lebih dari setengah
anggotanya .
Sehari
setelah pemungutan suara yang ketiga kalinya itu, Konstituante
menjalani reses. Selama reses itu, lebih dari separoh anggota
Konstituante meriyatakan, bahwa setelah reses nanti mereka tidak akan
menghadiri Sidang lagi. Ini berarti bahwa Konstituante gagal dalam
tugasnya untuk menetapkan UUD yang tetap sebagai pengganti UUDS 1950.
Keadaan itu dianggap oleh Presiden sebagai keadaaan yang dapat
membahayakan keselamatan dan keutuhan bangsa dan negara.
4) Penyimpangan Konstitusi Pada Periode 5 Juli 1959 s/d 1998
Dalam
keadaan yang menurut pandangan Kepala Negara (presiden) menimbulkan
keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan
negara, nusa, dan bangsa. Maka Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden
tanggal 5 Juli 1959. Tindakan Presiden mengeluarkan Dekrit tersebut
dibenarkan berdasarkan hukum darurat negara (staatsnoodrecht).
Berdasarkan
alasan yang kuat seperti dikemukan di atas, dan dengan dukungan dari
sebagian terbesar rakyat Indonesia, dikeluarkanlah Dekrit oleh Presiden
pada tanggal 5 Juii 1959 tentang kembali kepada Undang-Undang Dasar
1945.
Diktum Dekrit Presiden itu adalah :
- Menetapkan pembubaran Konstituante;
- Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulaihari tanggal penetapan Dekrit ini, dan tidak berlakunya lagi UndangUndang Dasar Sementara 1950;
- Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, serta Dewan Pertimbangan Agurtg Sementara, akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Dekrit
itu dibacakan-secara lisan oleh Presiden di Istana Merdeka pada tanggal
5 Juli 1959, hari Minggu pukul 17 .00 waktu Jawa. Dekrit itu kemudian
diumumkan dengan Keputusan Presiden No.150 tahun 1959 yang dimuat dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia No.75 tahun 1959. Pada Lembaran
Negara itu dilampirkan satu naskah Undang-Undang Dasar 1945.
Meskipun
esensinya sama, namun lampiran pada Lembaran Negara No.75 tahun 1959
itu tidak seluruhnya sama bunyinya dengan naskah Undang- Undang Dasar
1945 yang ditetapkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 yang dimual
dalam aerita Republik Indonesia Tahun II No.7 tanggal 15 Pebruari 1946.
Karena salah satu diktum Dekrit jelas menyatakan “Undang-Undang Dasar
1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia" maka yang dimaksud adalah naskah Undang-Undang Dasar yang
ditetapkan oleh PPKI dan dimuat dalam Berita Republik Indonesia Tahun II
No. 7. Adapun naskah sebagai lampiran Keeputusan Presiden No.150 tahun
1959 yang dimuat dalam lembaran Negara No. 75 tahun 1959 itu pada
hakikatnya berfungsi sebagai kelengkapan dalam mengumumkan secara
tertulis Dekrit Presiden itu.
Sejak 5
Juli 1959 Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia. Sejak itu telah cukup banyak
pengalaman yang kita peroleh dalam melaksanakan Undang-Undang Dasar
1945. Apabila diadakan perbandingan mengenai pelaksanaan Undang- Undang
Dasar 1945 untuk kurun waktu antara 1959 - 1965 (Orde Lama) dan kurun
waktu 1966 (Orde Baru) dan hingga kini (Orde reformasi), maka jelas
terlihat serta dirasakan kemajuan yang telah dicapai dalam pelaksanaan
Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen. Dalam Orde Lama,
lembaga-Iembaga negara seperti MPR, DPR, DPA, dan BPK belum dibentuk
berdasarkan undang-undang seperti yang ditentukan dalam Undang-Undang
Dasar 1945; lembaga-Lembaga negara tersebut masih dalam bentuk
sementara. Belum lagi jika kita mengupas tentang berfungsinya
lembaga-lembaga negara tersebut telah sesuai atau tidak dengan ketentuan
Undang-Undang Dasar 1945 .
Beberapa penyimpangan konstitusi sejak tahun 1959 (orde lama) sampai dengan lahirnya Orde Baru antara lain:
- Pada masa Orde Lama itu Presiden, selaku pemegang kekuasaan eksekutif, dan pemegang kekuasaan legislatif -- bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat -- telah menggunakan kekuasaannya dengan tjdak semestinya. Presiden telah mengeluarkan produk legislatif yang pada hakikatnya adalah Undang-undang (sehingga sesuai UUD 1945 harus dengan persetujuan DPR) dalam bentuk penetapan Presiden, tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
- MPRS, dengan Ketetapan No.I/MPRS/1960 telah mengambil putusan menetapkan pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1959 yang beIjudul "Penemuan Kembali Revolusi Kita" yang lebih dikenal dengan Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol) sebagai GBHN bersifat tetap, yang jelas bertentangan dengan ketentuan UUD 1945.
- MPRS telah mengambil putusan untuk mengangkat Ir. Soekamo sebagai Presiden seumur hidup. Hal ini bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945, yang menetapkan masa jabatan Presiden,lima tahun.
- Hak budget DPR tidak berjalan, karena setelah tahun 1960 Pemerintah tidak mengajukan Rancangan Undang-undang APBN untuk mendapatkan persetujuan DPR sebelum berlakunya .tahun anggaran yang bersangkutan. Dalam tahun 1960, karena.DPR tidak dapat menyetujui Rancangan Pendapatan dan Belanja Negara yang diajukanoleh Pemerintah, maka Presiden waktu itu membubarkan DPR basil Pemilihan Umum 1955 dan membentuk DPR Gotong Royong, disingkat DPR-GR.
- Pimpinan lembaga-lembaga negara dijadikan menteri-menteri negara sedangkan Presiden sendiri menjadi ketua DPA, yang semuanya tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945.
Inilah
beberapa contoh kasus penyimpangan konstitusional yang serius terhadap
pelaksanaan Undang-Dasar 1945 . Penyimpangan ini jelas bukan saja telah
mengakibatkan tidak berjalannya sistem yang ditetapkan dalam
Undang-Undang Dasar 1945, melainkan juga telah mengakibatkan memburuknya
keadaan politik dan keamaan serta terjadinya kemerosotan di bidang
ekonomi yang mencapai puncaknya dengan pemberontakan G-30-S. PKI.
Pemberontakan G-30-S PKI yang dapat digagalkan berkat kewaspadaan dan
kesigapan ABRI dengan dukungan kekuatan rakyat telah mendorong lahimya
Orde Baru yang bertekad untuk melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945 secara mumi dan konsekuen.
5) Penyimpangan Konstitusi Pada Periode 5 Juli 1959 s/d 1998
Orde
Baru yang lahir dengan tekad untuk melaksanakan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 secara mumi dan konsekuen; ternyata tidak mampu
melakukannya. Bahkan pada masa Orde Baru ini telah pula terjadi
penyimpangan konstitusional, diantaranya:
1) Pembatasan
hak-hak politik rakyat Sejak tahun 1973 jumlah parpol di Indonesia
dibatasi hanya 3 buah saja (PPP, Golkar, dan PDI). Pertemuan-pertemuan
politik harus mendapat ijin penguasa. Pers dinyatakan bebas, tetapi
pemerintah dapat membreidel penerbitan pers (Tempo, Editor, Sinar
Harapan dan lain-lain). Para pengkritik pemerintah dikucilkan secara
politik, atau bahkan diculik. Pegawai Negeri dan ABRI diharuskan
mendukung partai penguasa, Golkar. Hal-hal tersebut di atas bertentangan
dengan UUD 1945 terutama dalam kaitannya dengan pasal-pasal yang
berkenaan dengan Hak-hak Asasi Manusia
2) Pemusatan kekuasaan di tangan presiden
Walaupun
secara formal lembaga negara (MPR, DPR, MA, dan lain-lain) mempunyai
fungsi yang semestinya, namun dalam praktek melalui mekanisme politik
tertentu Presiden dapat mengendalikan berbagai lembaga negara di luar
dirinya.
Latihan Uji Kompetensi
1) Tunjukkan bukti-bukti penyimpangan terhadap UUD 1945 pada periode 1945-1949
2) Tunjukkan contoh penyimpangan terhadap UUD 1945 sesudah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga munculnya gerakan reformasi!
F. AMANDEMEN (PERUBAHAN) UUD 1945 DAN HASIL-HASILNYA
1. Dasar Pemikiran Perlunanya Amandemen UUD 1945
Setelah
mengalami pasang surut, baik pada era Orde Lama maupun Orde Baru,
muncul tuntutan perubahan UUD 1945 pada era reformasi. Untuk memahami
bagaimana Perubahan UUD 1945 itu terjadi, kalian akan diajak untuk
memahami mulai dari dasar pemikiran, tujuan, dasar yuridis, kesepakatan
dasar, awal perubahan, tingkat-tingkat pembicaraan, jenisjenis
perubahan, dan hasil perubahan.
Perlunya
perubahan UUD 1945 semata-mata karena kelemahan yang dimiliki oleh UUD
1945. Kelemahan-kelemahan tersebut di antaranya sebagai berikut.
1) Struktur Kekuasaan dalam UUD 1945
Struktur kekuasaan dalam UUD 1945
menempatkan dan memberikan kekuasaan yang sangat besar terhadap
Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif. Karena itu, sering muncul
anggapan bahwa kekuasaan dalam UUD 1945 sebelum perubahan terlalu
bertumpu pada Presiden. Presiden tidak hanya sebagai pemegang dan
menjalankan kekuasaan pemerintahan, tetapi juga menjalankan kekuasaan
untuk membentuk undang-undang, di samping hak konstitusional khusus
(Iazim disebut hak prerogatif) seperti memberi grasi, amnesti, abolisi,
dan rehabilitasi.
2) Berkaitan dengan Sistem Saling Mengawasi dan Mengimbangi (Checks and Balances)
Struktur UUD 1945 tidak cukup memuat sistem saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances) antar
cabang kekuasaan (Iembaga negara) untuk menghindari penyalahgunaan
kekuasaan atau suatu tindakan melampaui wewenang. Akibatnya, kekuasaan
Presiden yang besar makin menguat karena tidak cukupnya mekanisme
kendali dan pengimbang dari cabang kekuasaan yang lain. Misalnya tidak
terdapat ketentuan yang mengatur pembatasan wewenang Presiden menolak
mengesahkan suatu Rancangan Undang-Undang yang sudah disetujui DPR.
3) Ketentuan-Ketentuan yang Tidak Jelas
- Terdapat berbagai ketentuan yang tidak jelas, yang membuka peluang penafsiran yang bertentangan dengan prinsip negara berdasarkan konstitusi. Misalnya, ketentuan (konstitusionalisme). tentang pemilihan kembali Presiden (" ... dan sesudahnya dapat dipilih kembali"). Ketentuan ini menumbuhkan praktik, Presiden yang sama dipilih terus menerus, tanpa mengindahkan sistem pembatasan kekuasaan sebagai suatu prinsip dasar negara berdasarkan konstitusi
- Ketentuan yang menyatakan "Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR". Dengan ungkapan "dilakukan sepenuhnya", ada yang menafsirkan hanya MPR yang melakukan kedaulatan rakyat sehingga DPR yang merupakan wakil rakyat dipandang tidak melakukan kedaulatan rakyat.
- Ketentuan mengenai kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Karena tidak jelas, menimbulkan pendapat bahwa selama undang-undangnya belum dibentuk, hak-hak tersebut belum efektif. Cara pemaknaan semacam itu tidak sesuai dengan pengertian hak asasi sebagai hak alami.
4) Kedudukan Penjelasan UUD 1945
- Tidak ada kelaziman UUD memiliki Penjelasan yang resmi. Apalagi kemudian, baik secara hukum atau kenyataan, Penjelasan diperlakukan dan mempunyai kekuatan hukum seperti UUD (Batang Tubuh). Penjelasan UUD 1945 bukan hasil kerja badan yang menyusun dan menetapkan UUD 1945 (BPUPK dan PPKI), melainkan hasil kerja pribadi Supomo, yang kemudian dimasukkan bersama-sama Batang Tubuh ke dalam Berita Republik Tahun 1946, kemudian dimasukkan ke dalam Lembaran Negara RI Tahun 1959 (Dekrit).
- Dalam berbagai hal, Penjelasan mengandung muatan yang tidak konsisten dengan Batang Tubuh atau pasal-pasal, memuat pula keterangan-keterangan yang semestinya menjadi materi muatan Batang Tubuh.
2. Tujuan Amandemen UUD 1945
Melakukan
perubahan atas sesuatu tentu saja memiliki tujuan. Demikian pula halnya
dengan perubahan UUD 1945 yang mempunyai beberapa tujuan, di antaranya
adalah sebagai berikut.
- menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara dalam mencapai tujuan nasional dan memperkukuh Negara Kesatatuan Republik Indonesia;
- menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan paham demokrasi;
- menyempurnakan aturan dasar mengenai supremasi hukum, jaminan hak-hak konstitusional rakyat dan perlindungan hak asasi manusia sesuai dengan paham demokrasi dan rumusan negara hukum yang tercantum dalam UUD 1945;
- menyempurnakan aturan dasar penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern. antara lain melalui pembagian kekuasaan yang lebih tegas, sistem saling mengawasi dan saling mengimba yang lebih kuat dan transparan, dan pembentukan lembaga-lembaga negara yang baru untuk mengakomodasi kebutuhan bangsa dan tantangan zaman;
- menyempurnakan aturan dasar mengenai tugas, tanggungjawab, dan kewajiban negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan selul tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia;
- melengkapi aturan dasar yang sangat penting dalam penyelenggara negara bagi eksistensi (keberadaan) negara dan demokrasi, seperti pengaturan wilayah negara dan pemilihan umum;
- menyempurnakan aturan dasar mengenai kehidupan bernegara dan berbangsa sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan bangsa.
3. Dasar Yuridis Amandemen UUD 1945
MPR
melakukan perubahan UUD 1945 dengan berpedoman pada .ketentuan Pasal37
UUD 1945. Masih ingatkah kalian ketentuan apa yang diatur oleh pasal
tersebut? Pasal 37 UUD 1945 mengatur prosedur :perubahan UUD 1945. Namun
bagaimana dengan Ketetapan MPR Nomor IV /MPR/1983 tentang Referendum?
Ketetapan MPR tersebut isinya mengatur tata cara perubahan UUD 1945 yang
harus meminta terlebih :dahulu pendapat rakyat melalui referendum. Jika
mayoritas rakyat menghendaki perubahan tersebut, barulah MPR melakukan
perubahan tersebut.
Ketetapan
MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum tidak sesuai dengan cara
perubahan seperti diatur pada Pasal 37 UUD 1945. Maka sebelum melakukan
perubahan UUD 1945, MPR dalam Sidang lstimewa MPR tahun 1998 mencabut
Ketetapan MPR tentang referendum tersebut.
Berdasarkan
uraian di atas tampak bahwa dasar yuridis formal perubahan UUD 1945
adalah Pasal 37 UUD 1945. Naskah yang menjadi objek perubahan adalah UUD
1945 yang ditetapkan melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang
selanjutnya dikukuhkan secara aklamasi pada 22 Juli 1959 oleh Dewan
Perwakilan Rakyat sebagaimana tercantum dalam Lembaran Negara Nomor 75
Tahun 1959.
4. Kesepakatan Dasar dalam Amandemen/Perubahan UUD 1945
Penting
kita ketahui dari proses perubahan UUD 1945 itu adalah adalahj
kesepakatan dasar dalam perubahan tersebut. Jika tidak ada kesepakatan
dasar yang disepakati sebelumnya, perubahan tidak memiliki ketentuan
yang jelas. Perubahan UUD 1945 muncul dari adanya tuntutan reformasi
yang salah satu diantaranya menginginkan adanya perubahan UUD.
Kesepakatan dasar itu disusun oleh Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja I yakni sebagai berikut:
- sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945;
- sepakat untuk mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;
- sepakat untuk mempertahankan sistem presidensiil (dalam pengertian sekaligus menyempurnakan agar betul-betul mememiliki ciri-ciri umum sistem presidensiil);
- sepakat untuk tidak menggunakan lagi Penjelasan UUD 1945 sehingga hal-hal normatif yang ada di dalam penjelasan dipindahkan ke dalam pasal-pasal; dan
- sepakat untuk menempuh cara adendum dalam melaku amendemen terhadap UUD 1945
4.Hasil Amandemen/Perubahan UUD 1945
Secara umum hasil perubahan yang dilakukan dengan bertahap adalah sebagai berikut:
1. Perubahan Pertama UUD 1945 hasil Sidang Umum MPR (ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999).
Meliputi
Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 ayat (2), 14, Pasal15,
Pasal 17 ayat (2) dan (3), Pasal 20, dan Pasal 2~ 1945. 8erdasarkan
ketentuan pasal-pasal yang diubah, Perubahan Pertama UUD 1945 adalah
membatasi kekuasaan Presiden dan memperkuat kedudukan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif.
2. Perubahan
Kedua UUD 1945 hasil Sidang Tahunan MPR tahun ditetapkan pada tanggal
18 Agustus 2000). Meliputi Pasal18, Pasal18A, Pasal 188, Pasal 19, Pasal
20 a) Pasal 20A, Pasal22A, Pasa1228, 8ab IXA, Pasal 28A, Pasal 28B,
pasal 28C, Pasal28C, Pasal28D, Pasal28E, Pasal28F, Pasal28G, asal 28H,
Pasal 281, Pasal 28J, Bab XII, Pasal 30, Bab XV, Pasal 36A, Pasal 36B,
dan Pasal 36C UUD 1945. Perubahan kedua ini meliputi masalah wilayah
negara dan pembagian pemerintahan daerah, menyempurnakan perubahan
pertama dalam hal memperkuat kedudukan DPR, dan ketentuan-ketentuan yang
terperinci tentang HAM.
3. Perubahan Ketiga UUD 1945 hasil Sidang Tahunan MPR tahun 2001 (ditetapkan pad a tanggal 9 November 2001).
Mengubah
dan/atau menambah ketentuan-ketentuan Pasal1 ayat (2) dan (3), Pasal3
ayat (1), (3), dan (4), Pasal6 ayat (1) dan (2), Pasal6A ayat (1), (2),
(3), dan (5), Pasal 7 A, Pasal 7B ay at (1), (2), (3), (4), (5), (6),
dan (7), Pasal 7C, Pasal 8 ay at (1) dan (2), Pasal 11 ayat (2) dan (3),
Pasal 17 ay at (4), Bab VIIA, Pasal 22C ayat (1), (2), (3), dan (4),
Pasal22D ayat (1), (2), (3), dan (4), Bab VIIB, Pasal22E ayat (1), (2),
(3), (4), (5), dan (6), Pasal 23 ay at (1), (2), dan (3), Pasal 23A,
Pasal 23C, Bab VillA, Pasal23E ayat (1), (2), dan (3), Pasal23F ayat
(1), dan (2), Pasal 23G ayat (1) dan (2), Pasal 24 ayat (1) dan (2),
Pasal 24A ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), Pasal24 B ay at (1), (2),
(3), dan (4), Pasal 24C ay at (1), (2), (3), (4), (5), dan (6) UUD 1945.
Materi Perubahan Ketiga UUD 1945 meliputi ketentuan tentang asas-asas
landasan bernegara, kelembagaan negara, dan hubungan antarlembaga
negara, dan ketentuan tentang Pemilihan Umum.
4. Perubahan Keempat UUD 1945 hasil Sidang Tahunan MPR tahun 2002 (ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002).
Perubahan
dan/atau penambahan dalam Perubahan Keempat ini meliputi Pasal 2 ayat
(1); Pasal 6A ayat (4); Pasal 8 ayat (3); Pasal11 ayat (1); Pasal16,
Pasal23B; Pasal23D; Pasal24 ayat (3); Bab XIII, Pasal 31 ayat (1), (2),
(3), (4), dan (5); Pasal 32 ayat (1), (2), (3), dan (4); Bab IV, Pasal
33 ayat (4) dan (5); Pasal 34 ayat (1), (2), (3), dan (4); Pasal 37 ay
at (1), (2), (3), (4), dan (5); Aturan Peralihan Pasal I, 11, dan Ill;
Aturan Tambahan Pasall dan 11 UUD 1945. Materi perubahan pada Perubahan
Keempat adalah ketentuan tentang kelembagaan negara dan hubungan
antarlembaga negara, penghapusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA),
ketentuan tentang pendidikan dan kebudayaan, ketentuan tentang
perekonomian dan kesejahteraan sosial, dan aturan peralihan serta aturan
tambahan.
No
|
Perubahan
|
PasaI
|
lsi
| |
1
|
Perubahan Pertarra
|
• PasaI5 ayat (1)
PasaI7
• PasaI9
• PasaI13 ayat (2)
• PasaI14
|
• PasaI15
• PasaI 17 ayat (2)
• PasaI 17 ayat (3)
• PasaI20
• PasaI22
|
|
2
|
Perubahan Kedua
|
• PasaI18
• PasaI18A
• PasaI18B
• PasaI19
• PasaI20 ayat (5)
• PasaI20A
• PasaI22A
• PasaI22B
• PasaJ 28A
• PasaI28B
• PasaJ 28C
|
• Pasal28D
• PasaI28E
• PasaI28F
• PasaI28G
• PasaI28H
• Pasal281
• PasaI28J
• PasaI30
• PasaI36
• PasaI36B
• PasaI36C
|
|
3
|
Perubahan Ketiga
|
• PasaI1 ayat (2)
dan(3)
• PasaI3
• PasaI6 ayat (1)
dan(2)
• PasaI6A
• PasaJ 7A
• PasaI7B
• PasaJ 7C
• PasaI 8 ayat (1)
dan(2)
• PasaI11 ayat (2)
dan(3)
• PasaI17 ayat (4)
|
• PasaI22C
• PasaI22D
• PasaI22E
• PasaI23
• PasaI23
• PasaI23C
• PasaI23E
• PasaI23F
• PasaI23G
• Pasal24ayat (1),
dan(2)
• PasaI24A
• PasaI24B
• PasaI24C
|
• ketentuan tentang Asas-asas landasan bernegara
• kelembagaan negara dan huburgan antar lembaga negara
• ketentuan-ketentuan tentang pemilihan umum
|
4
|
Perubahan Keempat
|
• PasaI2 ayat (1)
• PasaJ 6A ayat (4)
• PasaI 8 ayat (3)
• PasaI11 ayat (1)
• PasaI16
• PasaJ 23B
• PasaI23D
• PasaI 24 ayat (3)
• PasaI31
|
• PasaI32
• PasaI33 ayat (4)
dan(5)
• PasaI34
• PasaI 37
• Aturan peralihan
Pasal I., II, dan III
• Aturan Tambahan Pasal I danll
|
|
0 komentar:
Posting Komentar